Kamis, 25 Desember 2008

MUSYAWARAH BADKO HMI SUMATERA BARAT

Undangan online

Kepada yang terhomat :
1. Pengurus HMI Cabang Padang
2. Pengurus HMI Cabang Batusangkar
3. Pengurus HMI Cabang Solok
4. Pengurus HMI Cabang Bukitinggi
5. Pengurus HMI Cabang Payakumbuh
6. Pengurus HMI Cabang Padang Panjang
7. Pengurus HMI Cabang Sijunjung
8. Pengurus HMI Cabang Persiapan Lubuk Sikaping
9. Pengurus HMI Cabang Persiapan Pariaman
10. Pengurus HMI Cabang Persiapan Pesisir Selatan
di
Tempat

Sehubungan telah berakhirnya masa kepengurusan Badko HMI Sumatera Barat Periode 2006-2008 sudah seyogyanya menyelenggarakan Musyawarah Daerah (Musda) Badko HMI Sumatera Barat ke-5. Berdasarkan hal tersebut di atas maka kami mengundang Saudara untuk dapat hadir pada:

Hari / Tanggal :
Jum'at - Minggu / 26 - 28 Desember 2008
Tempat :
Ully Hotel Kota Solok
Acara :
Musyawarah Daerah (Musda)
Badko HMI Sumatera Barat ke -5

Demikianlah surat undangan ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Padang, 22 Desember 2008
Tertanda Pengurus Badko HMI Sumatera Barat

dto

Revi Marta Dasta
Ketua Umum


NB : Undangan terbuka buat segenap Kader HMI Sumatera Barat untuk meramaikan Studium General Musda Badko HMI Sumbar (Jum'at / 26 Desember 2008) menghadirkan pembicara: Kakanda Indra J. Piliang, Ukma Elsadias, Nova Indra.

Kamis, 20 November 2008

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan HMI

Monday, 15 September 2008

Pada rapat bidang yang dilaksanakan oleh Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi (KPP) PB HMI, Minggu, 14/09, ada keinginan untuk menumbuhkan semangat kewirausahaan bagi kader-kader HMI. Walaupun sebenarrnya ide ini sudah sering di sampaikan pada forum-forum HMI, tetapi tidak ada salahnya untuk memulainya kembalai. Ide ini didasarkan pada, Pertama, kurangnya minat kader HMI untuk menggeluti dunia usaha pasca di HMI. Kebanyakan dari kader HMI lebih tertarik untuk menjadi politikus secepatnya. Padahal untuk menjadi politikus tentunya butuh juga dana untuk mampu bertahan dan berkembang dari hempasan permainan politik nantinya.

Kedua, meminimalisir ketergantungan pengurus HMI (PB HMI) terhadap alumni dalam menjalankan roda organisasi. Karena selama ini dalam setiap agenda HMI ketergantungan ini selalu saja terjadi. Sehingga alumni kadang-kadang takut ketemu dengan pengurus HMI. Karena pasti keluar dana setiap ketemu,,,ini seloroh kami waktu rapat. makanya HMI juga kreatif dalam mencari celah agar kegiatan bisa jalan tetapi mengurangi ketergantunagan. Bukannya HMI tidak butuh bantuan alumni HMI, tetapi bagaimana alumni bisa memberikan pancing dari pada ikannya.

Nah, untuk menjawab itu bidang KPP berencana mengadakan beberapa kegiatan untuk di bawa dalam raker PB HMI, 20-21 sep nanti. Diantaranya, Mengadakan Silaturahmi pengusaha dari alumni HMI dengan kader HMI yang berminat untuk menekuni dunia usaha. Targetnya nanti, bagaimana alumni mampu memberikan ilmunya sekaligus mengkader calon pengusaha muda HMI untuk mampu mandiri. Kedua, mengadakan workshop tentang kewirausahaan bagi kader HMI dan ketiga menggalakkan koperasi-koperasi ditingkat cabang HMI seluruh indoensia.

Salah satu contoh keberhasilan koperasi terjadi di HMI Cabang Mataram. Disana sudah berdiri koperasi syariah yang dikelola oleh cabang. Sejak berdiri beberapa tahun lalu sekarang sudah mampu membeli sekretariat permanen seharga 250 juta. Ini sebuah keberhasilan. Makanya kita juga ingin ada di PB HMI dan cabang-cabang lainnya. Dan tentunya kita butuh sokongan dan bantuan dari laumni HMI serta kawan-kawan HMI dalam mewujudkan itu. Insya Allah dengan niat yang baik, dapat terwujud pengusaha dari HMI dan tidak sekedar wacana lagi.


Wassalam
Revi Marta Dasta
Wasekjend KPP PB HMI

Dipublikasikan oleh FORAHMI

Pemilu, Siklus Politik Membosankan

Harian Umum Singgalang
3 Agustus 2008

Tiap sebentar pemilu, tiap sebentar pula terdengar pilkada. Inilah siklus politik yang membosankan, sekaligus menghabiskan dana triliunan rupiah. Untuk mendapatkan emosi primordial dari pemilih, beberapa ajang untuk pendekatan akan segera dihelat. Sebagaimana era pemilu waktu lalu, berbagai resepsi untuk mendapat gelar datuk, mulai semakin santer muncul ke permukaan.

“Aksi primordial dibutuhkan oleh para calon, untuk mendapatkan emosi kesukuan, keagamaan, ras dan masih banyak lagi. Bila pemilih sudah tahu suku seorang calon, agama yang dianut, warna kulit, wajah yang dimiliki, keturunan yang diwarisi, maka kemungkinan mendulang suara sudah di depan mata,” kata Pengamat Politik yang juga Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Padang (UNP), Drs. Suryanef, M.Si.

Dikatakan, pola mengghambur-hamburkan uang untuk menarik simpati primordial, hampir ditempuh semua orang yang ingin terjun dalam dunia politik. Imej adalah suatu hal yang utama, untuk mendulang suara di kancah politik.

Seringnya pemilihan kepala daerah, wakil rakyat, presiden dan lainnya, yang sudah pasti melibatkan masyarakat, dapat menimbulkan kebosanan. Ujung-ujungnya, akan timbullah sikap apatisme. Jika ditambah lagi dengan kepesimisan warga, akan sikap wakilnya yang terkadang hanya mementingkan diri sendiri, sikap apatis akan semakin memuncak.

Demokrasi, menurut Suryanef, merupakan sebuah prinsip yang universal. Kondisi politik bisa membuat semua jadi penuh curiga, karena tidak seorang calon pun yang murni siap kalah. Yang terjadi terkadang sebuah usaha mencari pembenaran tindakan yang dilakukan. Sehingga mau tidak mau, masyarakat yang jadi korban.

Pemilih cerdas

Dosen Universitas Andalas Kurniawarman, SH, MH berpendapat, proses demokrasi sesungguhnya tergantung kepada tingkat kecerdasan pemilih. Kalau pemilihnya cerdas, ujarnya, maka mereka akan memilih calon pemimpin dengan menggunakan akal sehat dan sesuai dengan kriteria pemimpin terbaik, maka akan menghasilkan pemimpin yang baik. Tapi kalau asal pilih atau memilih calon hanya berdasarkan keuntungan sesaat waktu kampanye saja, tentu hasilnya akan keliru.

Dikatakan, sistem pemilihan kepala daerah dan presiden di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Dari dulunya menggunakan sistem perwakilan di legislatif menjadi sistem pemilihan langsung. Dengan itu, masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam memilih pemimpinnya.

Pengamat masalah sosial di Padang, Advokat/praktisi Hukum pada kantor Handra Darwin &Rekan di Padang menilai, pemilihan kepala daerah memang menghabiskan dana yang sangat besar. “Namun bila penyelenggaranya dapat melakukan pesta rakyat tersebut dengan efektif dan efisien. Maka pilkada dapat berjalan secara maksimal,” jelasnya.

Sehingga bisa menciptakan produk kepala daerah yang berkualitas dalam arti dana yang keluarkan sesuai dengan dana yang bisa memproduk kepala daerah berkualitas. “Artinya, biaya mahal sesuai dengan dana yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai. Maka, tidak akan menjadi persoalan. Namun bila tidak maka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah harus ditinjau ulang lagi,” tuturnya.

Demokrasi adalah sebuah sistem ketatanegaraan yang menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat. Kendati demulkian sebga negara yang baru pada tahap menyesuaikan diri membangun demokrasi di Indonesia.

Solusi yang tepat untuk menghemat biaya pilkada yakni mengenai pelaksanaan pilkada secara serentak hanya soal penghematan dana semata. Itu tidak terlalu penting bila output bagus.

Juga mengenai pelaksanaan pilkada secara serentak hanya soal penghematan dana semata, itu tidak terlalu penting bila output bagus. Selain itu, bila pengalihan dana pilkada yang besar untuk subsidi kepada rakyat di bidang lain itu merupakan persoalan lain lagi. Sedangkan mengenai maraknya pemantau itu malah positif, karena dananya mandiri. Sedangkan pilkada hanya salah satu sarana mengajar rakyat berdemokrasi.

Sekjen Wadah Pengkajian dan Pengembangan Sosial Politik UNP, Muhibbuddin, mengakui, pemilu merupakan siklus politik membosan menjadi pertanda buruk bagi bangsa Indonesia, karena akan banyak suara yang hilang pada pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung dalam waktu dekat.

“Kondisi ini harus segera ditanggunglangi pemerintah dengan cepat, karena akan membawa dampak negatif pada pemilihan kepala daerah mendatang,” katanya.

Dikatakan, jika sebagian masyarakat mengatakan pilkada akan membosankan, tapi tidak untuk suasana kampanye yang akan dilakukan oleh berbagai partai. Sebab masing-masing partai akan menghadirkan artis-artis ternama dari ibukota. Tidak hanya itu, bantuan kepada masyarakat dari masing-masing partai juga akan mengalir seperti air.

“Suasana kampanye yang meriah disertai artis ibukota akan memberikan nuansa gembira bagi masyarakat. Begitupun dengan bantuan yang disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Tapi semua itu akan berubah ketika pemimpin yang dipilih tidak lagi menepati janji setelah terpilih,” sebut Muhib.

Menurutnya, pilkada dengan dana besar, yang disesuaikan dengan kebutuhan pilkada itu merupakan sebuah kewajaran. Sebab itu semua untuk kepentingan masyarakat banyak. Tapi jika dana pilkada dengan jumlah besar habis tanpa bisa dipertanggung jawabkan, itu patut dipertanyakan.

Pengamat politik dari IAIN Imam Bonjol, Ahmad Wira, MA berpandangan, ongkos demokrasi memang besar. Pemilu dan Pilkada terkesan hambur-hambur rupiah dalam bentuk pemasangan iklan-iklan politik.

“Aneh rasanya, banyak iklan dan pemberitahuan bahwa akan ada pesta demokrasi, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak peduli sama sekali, kecuali segelintir orang. Apakah mereka tidak mendengar atau tidak melihat baliho terpampang di perempatan jalan dengan tampilan berbagai corak. Setidak-tidaknya, untuk menarik perhatian masyarakat yang melewati jalan itu. Bahkan Pilkada terkesan hambur-hamburkan uang untuk mencapai kemenangan dengan menghalalkan berbagai cara,” kata Dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang ini.

Disebutkan, perang isu antar kandidat, pendukung dan konstituennya telah terjadi pula melalui pesan singkat melalui telepon seluler, pertemuan-pertemuan tidak resmi dan melalui spanduk. Selain itu menggelar kegiatan lewat olahraga dan anak-anak muda, memakai jalur kunjungan ke mesjid-mesjid dan majelis taklimnya. Namun banyak juga masyarakat kelihatannya menanggapi dengan dingin.

Sering diutak-atik

Pakar Hukum pada Universitas Eka Sakti, Prof. Dr. H. Andi Mustari Pide, SH, mengatakan, pesta demokrasi sering diutak-atik orang dengan pendapat dan opini lain. “Pilkada dan pemilu sudah ada aturannya. Sepanjang aturan yang berlaku itu masih dijalankan pada koridornya, kenapa harus diganggu,” katanya.

Demokrasi di Indonesia, menurut Andi, sudah tercetus lama berlandaskan UUD 1945. Namun demokrasi yang bagaimana saat ini, tidak tentu pula. Katanya, demokrasi itu telah ada, namun masih ada yang amburadul, perlu ditinjau ulang lagi.

Begitu juga dengan pola pelaksanaan pilkada, menurutnya selama ini sudah berjalan sebagai mestinya, sesuai yang diaturkan didalam undang-undang pilkada. Namun, ada positif negatifnya. Pemborasan uang negara karena biaya pilkada menurutnya, hanya pikiran asal saja tanpa melihat sejauh mana dan bagaimana pesta pilkada itu dilakukan.

“Ibaratnya saja, dalam menikahkan anak sendiri. Jika dibuat dengan pesta yang meriah, di hotel yang megah dengan sajian yang mewah pula tentu akan mengahabiskan biaya yang mahal, namun jika hanya sederhana tentu akan ringan biayanya, sementara tujuannnya sama,” tukasnya.

Menurutnya hal yang demikian itu, sesuai pendapat akhir-akhir ini yang akan menyerentakkan proses pilkada hanya alasan tanpa peninjauan. Karena selain akan merepotkan dan membuat rancu di tengah masyarakat juga akan menciptakan iklim demokrasi tidak kondusif.

“Seandainya terjadi pilkada serentak, tentu akan ada nanti kesimpang siuran, mungkin jabatan kepala daerah A belum berakhir, atau juga ada yang sudah lewat demi menunggu keserentakan itu, apa itu yang akan dilakukan,” tuturnya.

Serentak

Sementara itu Ketua Badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumbar, Revi Marta Dasta berpendapat memang sebaiknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) itu dilakukan secara serentak. Sebab menurut dia, sangat banyak manfaatnya jika Pilkada dilaksanakan serentak dari pada seperti saat ini.

“Saat ini terkesan, hampir setiap hari yang dikonsumsi masyarakat hanya maslah Pilkada. Belum selesai satu pilkada, muncul lagi Pilkada lain. Sehingga hari-hari masyarakat hanya diisi oleh Pilkada ke Pilkada saja,” ujarnya.

Dijelaskannya, jika Pilkada dilaksanakan serentak, maka permasalahan tentang Pilkada itu hanya sekali saja dilihat dan didengar masyarakat, sehingga masyarakat lebih bisa berkonsentrasi ke peningkatan ekonomi.

“Dengan Pilkada serentak, maksiat atau masalah-masalah Pilkada itu tentu bisa dikurangi. Sebab trauma akan konflik Pilkada itu bisa memakan waktu lama. Lihat saja Pilkada di Maluku Utara. Hingga kini hasil Pilkada itu tak jelas, sementara masyarak banyak yang sudah jadi korban. Kan kasian kita dengan masyarakat yang tak tahu apa-apa justru terseret ke kepentingan politik seseorang,” ujarnya.

Ditambahkan, apakah dengan ikut-ikutan dalam konflik itu ada untungnya. Kan tidak. Yang banyak justru ruginya. “Belum tentu juga pemimpin yang terpilih dan didukung dengan berdarah-darah oleh masyarakat itu nantinya akan pro rakyat. Yang jelas pertamanya saja sudah ada pengkotak-kotakan pendukung,” ujarnya.

Kembali ke Pilkada serentak, selain bisa mengurangi konflik, dengan pelaksanaan serentak, bisa juga lebih menghemat anggaran. “APBD daerah tidak tersedot oleh pembiayaan Pilkada. Akhirnya biaya besar yang harusnya dialokasikan untuk Pilkada bisa dialihkan kepada peningkatan perekonomian masyarakat,” ujarnya.

Terkait dengan pelaksanaan Pilkada serentak itu, tentu peraturan dan perundang-undangannya mesti dibahas dan dimatangkan di DPR. “Kita harap DPR bisa membahas aturan perundang-undangan dengan jelas, guna kemaslahatan masyarakat banyak,” ujarnya.oBambang/Hendri Nova/Lenggogeni/Yuke/Aswandi/Andika/Rifky

Sumpah dan Sampah Sejarah, (Tanggapan terhadap tulisan Husni Kamil Manik)

Oleh : Revi Marta Dasta, Ketua Umum Badko HMI Sumatera Barat

Mencermati tulisan Husni Kamil Manik di teras utama Harian Padang Ekspres (02/11) dengan judul “Sampah Sejarah” membuat penulis tergelitik untuk berkomentar. Husni membandingkan antara sumpah pemuda yang di ikrarkan oleh para pemuda Indonesia , 28 Oktober 1928 dengan sumpah palapa yang di bacakan patih Gajah Mada.

Menurut Husni bahwa Sumpah Palapa ini sempat terwujud ditandai dengan banyak daerah yang telah di kuasai oleh kerajaan Majapahit. Tetapi itu tidak bertahan lama karena tidak cukup satu abad Majapahit sebagai kerajaan besar hancur seiring berkembangnya kerajaan islam waktu itu. Sehingga gagal lah Patih Gajah Mada dan majapahit mewujudkan sumpah palapa itu

Kemudian Husni mempertanyakan, apakah sumpah pemuda akan bernasib sama dengan dengan sumpah palapa?. Disini penulis menafsirkan yang dimaksudkan Husni, bahwa sumpah pemuda juga tidak kan bertahan lama, tidak sampai satu abad juga umurnya. Ini lah poin penting yang menjadi bahan pertanyaan penulis. Apakah benar demikian, sementara sumpah pemuda akan memasuki usia satu abad, sekarang sudah 80 tahun umurnya. Berarti sumpah pemuda akan tamat riwayatnya?

Menurut penulis, ada perbedaan mencolok kelahiran sumpah pemuda dan sumpah palapa ini. Pertama, Sumpah palapa dilahirkan oleh orang yang memegang kekuasaan waktu itu. Gajah Mada sebagai patih di kerajaan Majapahit memiliki perangkat untuk mewujudkannya. Ia punya senjata, pasukan dan juga dukungan dari pihak kerajaan. Maka dengan itu Gajah Mada akan lebih mudah mewujudkan idenya tadi.

Berbeda dengan sumpah pemuda yang dicetuskan oleh para pemuda indonesia yang saat itu kondisinya di bawah penjajahan. Mereka tidak memegang kekuasaan. Namun dengan keberanian dan kesadaran untuk bersatu maka dicetuskanlah sumpah pemuda. Bisa dibayangkan bagaimana mereka mengatur cara pertemuan dan meyakinkan satu sama lain.

Karena setiap saat Belanda siap melenyapkan nyawa mereka. Nah tentu sulit mewujudkan sumpah itu. Tetapi dengan semangat kebersamaan dan rasa bosan akan penjajahan serta atas dasar persatuan, pemuda yang berasal dari berbagai organisasi kedaerahan bersatu melaksanakan kongres pemuda.

Mereka berasal dari Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. Maka dicetuskanlah sumpah pemuda itu dengan pengakuan kesamaan tanah air, bangsa dan bahasa.

Kedua, Sumpah Palapa hanya di cetuskan oleh kerajaan yang terletak di Jawa. Dan tentunya ide sumpah pemuda itu hanya dari orang-orang Majapahit saja. Belum pada tahap yang lebih luas. Sehingga ide dasar ini muncul hanya bersifat kedaerahan. Tidak seperti ide sumpah pemuda yang lahir dari anak bangsa dari berbagai suku bangsa, daerah serta agama yang berbeda. Sehingga semangat persatuan itu benar-benar terwujud.

Ketiga, penyebaran sumpah palapa dilakukan lewat kekerasan, katakanlah dengan perang. Logikanya Gajah Mada ingin mewujudkannya dengan jalan pintas. Bagi mereka yang tunduk tidak akan diperangi tetapi yang tidak mau patuh tentu akan dihancurkan. Hal ini tertuang dari isi sumpah yang yang di bacakan patih gajah mada tahun 1331; “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram,tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”.

Terjemahannya lebih kurang “Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitu pula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat” (Munadar, 2004:24).

Sementara sumpah pemuda disebarkan atas kesadaran untuk bangkit dan lepas dari penjajahan. Di samping juga memecahkan mitos bahwa bangsa Indonesia ini tidak akan pernah bersatu. Itulah yang ada di benak orang Belanda waktu itu.

Nah, penyebaran semangat sumpah pemuda ini juga berbeda dengan sumpah palapa. Caranya mengetuk perasaan setiap rakyat untuk bersatu. Menghilangkan rasa perbedaan. Demi satu tekad untuk merdeka. Maka tentu tidak ada kekerasan yang dilakukan. Inilah yang menurut penulis, sumpah pemuda ini bisa bertahan lama.

Maka tentu tidak bisa kita samakan antara sumpah palapa dengan sumpah pemuda. Keduanya besar sekali perbedaanya. Selain waktu dan tokoh yang terlibat, caranya juag berbeda. Kesamaannya hanya pada ide untuk mempersatukan nusantara.

Akhirnya pemulis berpendapat, bahwa Sumpah pemuda yang telah berumur selama 80 tahun ini tidaklah akan hancur di telan zaman seperti yang di tulis Husni tadi. Karena ide dasar yang diperjuangkan itu sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia . Semangat persatuan yang yang digagas oleh para pemuda waktu itu menjelma menjadi bentuk kesadaran melawan penjajahan dengan cara mewujudkan persatuan.

Namun tentu sumpah pemuda ini tentu di rawat. Caranya penulis sepakat kalau bangsa ini bisa mandiri dan memilki sumber daya manusia yang bisa diharapkan untuk membangun bangsa. Nah, bila ini bisa di mulai pemuda, maka nilai-nilai sumpah pemuda tentu tidak akan jadi sampah sejarah. Wassalam. (***)

Kamis, 25 September 2008

Kisruh Partai Menjelang Pemilu

Gejolak dan diringi perbedaan pendapat yang tajam di internal partai politik semakin meningkat menjelang pemilihan umum 2009. Kisruh Partai Menjelang Pemilu Oleh Revi Marta Dasta Gejolak dan diringi perbedaan pendapat yang tajam di internal partai politik semakin meningkat menjelang pemilihan umum 2009. Hal ini terjadi terutama pada saat penyusunan bakal calon legislatif di masing-masing daerah pemilihan. Pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan dari beberapa bakal calon legislative (caleg) terkait dengan persoalan nomor urut, ketidak cocokan dengan daerah pemilihan yang diinginkan ataupun tidak dimasukkan dalam daftar bakal calon dalam pemilu nanti.


Contoh kasus terjadi saat mundurnya Yuddi Crisnandi, anggota DPR RI, dari daftar caleg yang di umumkan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Menurut Yudi ia mundur karena tidak ditempatkan pada posisi yang tepat, padahal selama ini ia telah banyak berbuat untuk partai dan mendapatkan dukungan penuh dari konstotuennya di daerah. Namun pengunduran itu ditanggapi dingin oleh DPP partai golkar dan tentunya sangat Menyayangkan hal itu terjadi. Seperti yang disampaikan oleh Wakil ketua DPP Partai Golkar, Agung Laksono.


Belum selesai Yuddi, sekarang muncul kasus Fadel Muhammad. Fadel yang masih menjabat sebagai Gubernur Gorontalo, tidak di calonkan oleh partai golkar dalam pencalegan. Alasannya karena Fadel masih menjabat gubenur. Jika Fadel maju maka tentunya masyarakat yang telah memilihnya jadi kecewa. Padahal Fadel sangat berkeinginan sekali untuk menjadi anggota DPR untuk memberikan pengabdiannya. Keinginan itu sudah disampaikannya ke DPP. Inilah sebenarnya yang membuat fadel kecewa, sehingga ia berencana untuk mengumpulkan ketua-ketua DPD tingkat dua di indoneia untuk membuat silaturrahmi dan ada juga kabar bahwa Fadel akan menghadirkan Sri Sultan Mangkubowono dan Akbar Tanjung. Tentunya manuver Fadel yang tengah giat mempromosikam menjadi calon presiden ini, membuat gerah DPP. Tak hanya DPP tetapi juga beberapa pimpinan partai golkar di kota dan kabupatern di gorontalo. Ketidaksetujuan atas ide fadel itu di buktikan dengan hadirnya enam pimpinan kabupaten/kota menemui Jusuf Kalla. Lain lagi dengan Partai Persatuan Pembagunan yang juga tengah di terpa dugaan badai konflik. Ada kabar baru-baru ini bahwa sekjen PPP Irgan Chairul Mahfiz, dipecat oleh Ketua Umum PPP Suryadarma Ali. Irgan dikabarkan tidak mau menandatangai daftar caleg yang disodorkan oleh sang ketua umum. Namun isu bantah membantah tentang rumuor itu tetap berlanjut. Sehingga PPP juga tengah dilanda konflik. Tidak hanya PPP dan Golkar yang terdengar mulai ada masalah diinternalnya, PKB juga telah melewati konflik beberapa bulan belakangan ini. Kubu Gus Dur dan Muhaimen mengaku paling berhak atas PKB. Dan sampai sekarang masih berlangsung persidangan di Pengadilan. Adanya konflik PKB ini sangat jelas sekali berpengaruh terhadap penerimaan konstituen di level grass root. Simak Pilkada di Jawa Timur pada putaran pertama. Calon yang dijagokan oleh PKB hanya mendapat posisi juru kunci. Sebagian pengamat menilai, hal ini terjadi adalah akibat dari terus terjadinya dualism kepemimpinan di PKB. Banyaknya konflik ditingkat elit partai membuat masyarakat jadi binggung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan partai politik kita hari ini. Banyak dugaan ternyata factor uang dan ketidak senangan beberapa orang dalam penyusunan bakal calon legislative telah membuat panas kondisi partai. Padahal partai politik mempunyai tugas berat hari ini, yaitu berusaha untuk merebut hati masyarakat. Apabila terus berkonflik tentunya partai yang akan rugi. Mestinya detik-detik menjelang pemilu, partai partai sudah saatnya melakukan konsolidasi. Tidak hanya dengan masyarakat, tetapi di internal partai juga harus melakukan konsolidasi. Tetapi fenomena konflik menjalang pemilu memang yang biasa menjelang pemilu. Setidaknya hal itu disampaikan oleh Ketua DPP PPP, Arif Mudatsir Mandan bahwa konflik partai merupakan siklus dari lima tahunan. Jadi merupakan hal yang biasa. Menurut peneliti Center of electoral Reform (Cetro) Erika Widyaningsih, perpecahan di internal tubuh partai disebabkan oleh system penyelenggaraan pemilu legislative indoensia yang masih terkungkung budaya patriaki. Jika hal itu benar, tentunya sekelompok orang yang berkuasa di partai saat ini akan mengusai partai secara keseluruhan. Sehingga partai bisa dijadikan alat untuk melakukan nepotisme terhadap kroni maupun oleh orang yang berkuasa saat ini di partai. Tujuannya untuk memluskan kepentingan yang berkuasa hari ini di partai. Jika ini terjadi tentu menjadi kemunduran bagi demokrasi kita hari ini. Bahwa ternyata orang yang duduk di legislative nanti bukanlah orang yang terseleksi secara sistematis oleh partai, tetapi karena kedekatan maupun factor keluarga. Maka tentunya kisruh partai yang berlangsung hari ini telah mengambarkan fenomena calon wakil rakyat kita kedepan. Ternyata mereka terlebih dahulu sikut-menyikut untuk mendapatkan jabatan nomor urut dan sebagainya. Bagaimana kalau mereka duduk nanti. Wallahualam Penulis adalah Wasekjen KPP PB HMI

Rabu, 10 September 2008

Kami Pengurus Badko HMI Sumbar Mengucapkan :

Pilkada Sebaiknya Serentak

KETUA Badko Himpunan Mahasiswa Islam Sumbar Revi marta Dasta berpendapat memang sebaiknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) itu dilakukan secara serentak. Sebab menurut dia, sangat banyak manfaatnya jika Pilkada dilaksanakan serentak dari pada seperti saat ini.

“Saat ini terkesan, hampir setiap hari yang dikonsumsi masyarakat hanya maslah Pilkada. Belum selesai satu pilkada, muncul lagi Pilkada lain. Sehingga hari-hari masyarakat hanya diisi oleh Pilkada ke Pilkada saja,” ujarnya.

Dijelaskannya, jika Pilkada dilaksanakan serentak, maka permasalahan tentang Pilkada itu hanya sekali saja dilihat dan didengar masyarakat, sehingga masyarakat lebih bisa berkonsentrasi ke peningkatan ekonomi.

“Dengan Pilkada serentak, maksiat atau masalah-masalah Pilkada itu tentu bisa dikurangi. Sebab trauma akan konflik Pilkada itu bisa memakan waktu lama. Lihat saja Pilkada di Maluku Utara. Hingga kini hasil Pilkada itu tak jelas, sementara masyarak banyak yang sudah jadi korban. Kan kasian kita dengan masyarakat yang tak tahu apa-apa justru terseret ke kepentingan politik seseorang,” ujarnya.

Ditambahkan, apakah dengan ikut-ikutan dalam konflik itu ada untungnya. Kan tidak. Yang banyak justru ruginya. “Belum tentu juga pemimpin yang terpilih dan didukung dengan berdarah-darah oleh masyarakat itu nantinya akan pro rakyat. Yang jelas pertamanya saja sudah ada pengkotak-kotakan pendukung,” ujarnya.

Kembali ke Pilkada serentak, selain bisa mengurangi konflik, dengan pelaksanaan serentak, bisa juga lebih menghemat anggaran. “APBD daerah tidak tersedot oleh pembiayaan Pilkada. Akhirnya biaya besar yang harusnya dialokasikan untuk Pilkada bisa dialihkan kepada peningkatan perekonomian masyarakat,” ujarnya.

Terkait dengan pelaksanaan Pilkada serentak itu, tentu peraturan dan perundang-undangannya mesti dibahas dan dimatangkan di DPR. “Kita harap DPR bisa membahas aturan perundang-undangan dengan jelas, guna kemaslahatan masyarakat banyak,” demikian Revi Marta Dasta.***